about me

Kamis, 27 Februari 2014

Nila Tanzil, Membentangkan Pelangi di Indonesia Bagian Timur

Bung Hatta pernah berkata, “Aku rela dipenjara, asalkan bersama buku aku bebas.” Ya, fisik kita bisa saja terkungkung dalam sebuah ruangan, tapi dengan membaca buku pikiran kita bisa bebas melanglangbuana. Mau di tengah rimba raya, di pesisir pantai yang sepi, di dalam penjara yang dingin, atau di dalam kapal selam di kedalaman samudera, buku akan membuat kita terhubung dengan galaksi pemikiran manusia.
Kesadaran itulah yang dimiliki oleh sosok wanita enerjik, berjiwa petualang, dan berpenampilan sporty bernama Nila Tanzil. Ia pun terdorong untuk membuka akses bacaan bagi anak-anak di daerah pelosok, khususnya kawasan Indonesia Timur, melalui Taman Bacaan Pelangi (www.tamanbacaanpelangi.com, twitter: @pelangibook). Sebuah taman bacaan yang mulai mengibarkan bendera literasinya pada November 2009 di Kampung Roe, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Awalnya, wanita kelahiran Jakarta, 29 April 1976 ini sedang bertugas sebagai konsultan komunikasi PT. Putri Naga Komodo di Flores. Hampir tiap akhir pekan ia menghabiskan waktunya untuk menekuni hobi menyelamnya di perairan sekitar Flores yang memang terkenal keindahan alam bawah lautnya. Lama-kelamaan ia bosan dan mencari aktivitas lain. Maka, ia pun memutuskan untuk mengunjungi desa-desa terpencil dan menyapa warga lokal.
Kunjungan demi kunjungannya itu pun pelan-pelan membuka matanya. Ada kegetiran yang ia rasakan. Bahwa, di balik kecantikan tanah Flores tersimpan realita pendidikan yang membuat hati kecilnya tergugah. Betapa tidak? Sekolah dasar terkadang hanya terdapat di satu desa atau daerah. Anak-anak yang hendak melanjutkan SMP atau SMA harus rela tinggal di desa lain atau di Kota Labuan Bajo. Sehingga tak jarang Nila mendapat jawaban dari anak-anak SD tersebut ketika ditanya tempat yang ingin mereka kunjungi, “Saya ingin ke Labuan Bajo!” atau “Saya ingin ke Bali!” Dua tempat itulah yang paling familar bagi mereka.
Tidak adakah tempat lain di dunia ini yang ingin mereka datangi? Itu juga pertanyaan yang terngiang-ngiang di pikiran Nila. Apalagi ketika ditanya mengenai cita-cita mereka, kebanyakan jawaban mereka masih seputar guru atau pastor saja. Tentu, tanpa bermaksud mengerdilkan profesi yang mulia itu. Namun, Nila merasa tertantang untuk membuat anak-anak tersebut berani bercita-cita yang tinggi dan banyak sekalian.
Kira-kira apa yang bisa ia lakukan? Buku. Buku bisa mencerdaskan. Maka, Nila mendapatkan ide untuk mendirikan taman bacaan. Pemegang gelar Master of Arts (MA) in European Communication Studies di University of Amsterdam, Belanda (2004) ini terefleksi oleh pengalaman masa kecilnya yang dekat dengan buku. Orangtuanya sengaja berlangganan majalah anak-anak, seperti Bobo, Donal Bebek, dan Kawanku! bahkan sejak ia belum bisa membaca.
“Ibu selalu membacakan cerita sebelum tidur. Ayahku kamarnya penuh dengan buku, seperti perpustakaan. Tiap hari aku melihat ayahku membaca. Dia benar-benar kutu buku,” kisah anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Dibesarkan dengan lingkungan yang demikian, ia pun terstimulasi dan menjadi suka membaca. Maka, tiap pulang sekolah, ia selalu duduk di lantai dan membaca. Pergi ke toko buku adalah kegiatan yang menyenangkan baginya karena ia dibolehkan memilih buku apa saja yang ia mau.
Oleh karena itulah, ia pun tergugah ketika melihat anak-anak di desa-desa terpencil yang hidupnya jauh dari buku. Infrastruktur minim, begitu pula fasilitas pendukung literasi yang lain. Di desa mereka tidak ada perpustakaan ataupun toko buku. Mereka jauh dari mana-mana.
“Itulah sebabnya saya tergerak untuk menyediakan akses terhadap buku-buku bacaan anak-anak. Semua karena dilatarbelakangi oleh kecintaan saya akan buku sejak masa kecil. Akan indah jika anak-anak di desa-desa tersebut juga bisa memiliki pengalaman & memori yang sama akan buku, setidaknya melalui Taman Bacaan Pelangi,” tutur mantan presenter acara jalan-jalan itu.
Ia pun terbang ke Jakarta, memborong buku-buku bacaan anak-anak dengan duit sendiri. Dalam perkembangannya, ia kemudian mengajak teman-temannya dari berbagai negara, latar belakang, suku, dan ras yang memiliki kepedulian yang sama dengannya. Maka, nama “Pelangi” itu pun tercetus di kepalanya.
“Seperti pelangi. Berbagai warna jika dijadikan satu, membentuk sesuatu yang indah,” ujarnya berfilosofi.
Nila 2Hingga kini, Taman Bacaan Pelangi telah ada di 26 desa pelosok di 11 pulau di wilayah Indonesia bagian Timur, antara lain: Flores, Timor, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Maluku (Pulau Banda Neira). Jumlah koleksi buku yang ada di tiap lokasi pun kian bertambah. Awalnya hanya 500 buku per lokasi, namun sekarang jumlahnya bahkan ada yang mencapai 2.000 – 3.000 buku.
Mantan Head of Communications Putera Sampoerna Foundation ini menjelaskan bahwa dukungan dari masyarakat setempat terhadap Taman Bacaan Pelangi bagus sekali. Mereka sangat aktif membantu dalam hal pengelolaan & rotasi buku. Jumlah sukarelawan pun meningkat. Bahkan, banyak yang kirim surat elektronik menyatakan ingin gabung sebagai sukarelawan. Orang-orang dan pihak-pihak yang mengajak kerjasama dan mengirimkan buku atau dukungan dalam wujud apa pun juga bertambah banyak. Itulah sebabnya, Taman Bacaan Pelangi terdorong membentuk yayasan yang saat ini sedang menunggu keputusan dari Departemen Kehakiman.
Meski demikian, perjalanan Taman Bacaan Pelangi bukan tanpa hambatan. Wanit yang saat ini bekerja sebagai Head of Stakeholder Mobillization di Nike, Inc., Jakarta ini mengakui tantangan adalah jarak antardesa yang jauh dan harus ditempuh dengan jalan darat yang lama ataupun harus menyewa kapal menuju ke sana setelah perjalanan melalui udara.
“Tapi kita tidak boleh menyerah dengan tantangan ini, karena justru desa-desa yang sulit dijangkau itulah yang sangat membutuhkan akses terhadap buku bacaan yang berkualitas,” imbuhnya optimis.
Maka, salah satu cara untuk mengatasi tantangan itu adalah dengan memberdayakan masyarakat setempat. Merekalah yang membantu untuk merotasi dan menyalurkan donasi lain yang didapatkan, seperti ribuan sandal dari Havaianas & sepatu sekolah dari Kick Andy Foundation untuk anak-anak di lokasi Taman Bacaan Pelangi.
Pelibatan masyarakat setempat juga menjadi salah satu strategi Nila untuk menjaga kesinambungan Taman Bacaan Pelangi. Dengan kerjasama itu, rasa memiliki (sense of belonging & sense of ownership) masyarakat desa terhadap taman bacaan ini juga akan terus bertumbuh.
Ketika ditanya mengenai kiatnya untuk tetap bertahan dan terus mengembangkan Taman Bacaan Pelangi, wanita yang hobi menulis ini menceritakan.
“Saya selalu teringat binar mata anak-anak di Taman Bacaan Pelangi ketika pertama kali kami membuka TBP di masing-masing lokasi. Mata mereka berbinar-binar dan raut wajah mereka tampak sangat antusias dan senang sekali. Terharu melihatnya. Inilah yang membuat saya tetap semangat.”
Ia pun berharap Taman Bacaan Pelangi terus berkembang dan merambah daerah-daerah terpencil lainnya di Indonesia bagian Timur. Sehingga kian banyak anak Indonesia yang mendapatkan akses terhadap buku dan terinspirasi untuk menjadi ‘besar’. Selain bisa turut berkontribusi untuk membantu mengurangi angka buta huruf di Indonesia bagian Timur, Nila menyematkan harapan anak-anak di Taman Bacaan Pelangi akan menjadi agent of change yang akan dapat membawa perubahan positif di desa-desa mereka.
Tidak mengherankan jika langkah kecil berdampak positif besar yang dilakukan oleh Nila Tanzil tersebut membuahkan apresiasi. Penghargaan yang telah ia terima terkait kiprahnya tersebut, antara lain: Banyan Tree Award (2010), Tupperware SheCan! Award (2011), Indonesia’s Inspiring Youth and Women Award (Desember 2012), serta Kartini Next Generation Award: Inspiring Woman in ICT (2013).
Pencapaian Nila Tanzil itu tidak bisa dikatakan semata-mata karena dirinya seorang. Banyak pihak yang berdiri di belakangnya, terutama orangtuanya. Terkait dukungan terhadap Taman Bacaan Pelangi, misalnya, sang ibu, Yuriah Tanzil, selalu membantu memilah-milah buku, menghitung, lalu mengemasnya ke dalam kardus sebelum dikirim. Ia juga rela rumahnya jadi berantakan oleh kardus-kardus yang penuh dengan buku cerita anak-anak.
Sementara bapaknya, Michael Tanzil, telah menanamkan pesan yang terus disampaikan Nila tiap kali diliput media. “Sebagai perempuan, lebih baik memiliki berbagai kemampuan daripada memiliki berbagai barang.” Maka, ia pun terdorong untuk jadi wanita mandiri dan maju.
Nila sendiri punya moto hidup “Life has to be balanced”. Hidup harus diseimbangkan. Moto yang bisa diaplikasikan dalam banyak hal, misalnya: work hard, play hard. Atau ketika kita memiliki sesuatu, kita juga harus memberi kepada orang lain yang membutuhkan. Semuanya harus seimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar