Nila Tanzil, Membentangkan Pelangi di Indonesia Bagian Timur
Bung Hatta pernah berkata, “Aku rela dipenjara,
asalkan bersama buku aku bebas.” Ya, fisik kita bisa saja terkungkung
dalam sebuah ruangan, tapi dengan membaca buku pikiran kita bisa bebas
melanglangbuana. Mau di tengah rimba raya, di pesisir pantai yang sepi,
di dalam penjara yang dingin, atau di dalam kapal selam di kedalaman
samudera, buku akan membuat kita terhubung dengan galaksi pemikiran
manusia.
Kesadaran itulah yang dimiliki oleh sosok wanita enerjik, berjiwa petualang, dan berpenampilan sporty bernama
Nila Tanzil. Ia pun terdorong untuk membuka akses bacaan bagi anak-anak
di daerah pelosok, khususnya kawasan Indonesia Timur, melalui Taman
Bacaan Pelangi (www.tamanbacaanpelangi.com, twitter: @pelangibook).
Sebuah taman bacaan yang mulai mengibarkan bendera literasinya pada
November 2009 di Kampung Roe, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Awalnya, wanita kelahiran Jakarta, 29 April 1976 ini
sedang bertugas sebagai konsultan komunikasi PT. Putri Naga Komodo di
Flores. Hampir tiap akhir pekan ia menghabiskan waktunya untuk menekuni
hobi menyelamnya di perairan sekitar Flores yang memang terkenal
keindahan alam bawah lautnya. Lama-kelamaan ia bosan dan mencari
aktivitas lain. Maka, ia pun memutuskan untuk mengunjungi desa-desa
terpencil dan menyapa warga lokal.
Kunjungan demi kunjungannya itu pun pelan-pelan
membuka matanya. Ada kegetiran yang ia rasakan. Bahwa, di balik
kecantikan tanah Flores tersimpan realita pendidikan yang membuat hati
kecilnya tergugah. Betapa tidak? Sekolah dasar terkadang hanya terdapat
di satu desa atau daerah. Anak-anak yang hendak melanjutkan SMP atau SMA
harus rela tinggal di desa lain atau di Kota Labuan Bajo. Sehingga tak
jarang Nila mendapat jawaban dari anak-anak SD tersebut ketika ditanya
tempat yang ingin mereka kunjungi, “Saya ingin ke Labuan Bajo!” atau
“Saya ingin ke Bali!” Dua tempat itulah yang paling familar bagi mereka.
Tidak adakah tempat lain di dunia ini yang ingin
mereka datangi? Itu juga pertanyaan yang terngiang-ngiang di pikiran
Nila. Apalagi ketika ditanya mengenai cita-cita mereka, kebanyakan
jawaban mereka masih seputar guru atau pastor saja. Tentu, tanpa
bermaksud mengerdilkan profesi yang mulia itu. Namun, Nila merasa
tertantang untuk membuat anak-anak tersebut berani bercita-cita yang
tinggi dan banyak sekalian.
Kira-kira apa yang bisa ia lakukan? Buku. Buku bisa
mencerdaskan. Maka, Nila mendapatkan ide untuk mendirikan taman bacaan.
Pemegang gelar Master of Arts (MA) in European Communication Studies
di University of Amsterdam, Belanda (2004) ini terefleksi oleh
pengalaman masa kecilnya yang dekat dengan buku. Orangtuanya sengaja
berlangganan majalah anak-anak, seperti Bobo, Donal Bebek, dan Kawanku!
bahkan sejak ia belum bisa membaca.
“Ibu selalu membacakan cerita sebelum tidur. Ayahku
kamarnya penuh dengan buku, seperti perpustakaan. Tiap hari aku melihat
ayahku membaca. Dia benar-benar kutu buku,” kisah anak kedua dari tiga
bersaudara ini.
Dibesarkan dengan lingkungan yang demikian, ia pun
terstimulasi dan menjadi suka membaca. Maka, tiap pulang sekolah, ia
selalu duduk di lantai dan membaca. Pergi ke toko buku adalah kegiatan
yang menyenangkan baginya karena ia dibolehkan memilih buku apa saja
yang ia mau.
Oleh karena itulah, ia pun tergugah ketika melihat
anak-anak di desa-desa terpencil yang hidupnya jauh dari buku.
Infrastruktur minim, begitu pula fasilitas pendukung literasi yang lain.
Di desa mereka tidak ada perpustakaan ataupun toko buku. Mereka jauh
dari mana-mana.
“Itulah sebabnya saya tergerak untuk menyediakan
akses terhadap buku-buku bacaan anak-anak. Semua karena dilatarbelakangi
oleh kecintaan saya akan buku sejak masa kecil. Akan indah jika
anak-anak di desa-desa tersebut juga bisa memiliki pengalaman &
memori yang sama akan buku, setidaknya melalui Taman Bacaan Pelangi,”
tutur mantan presenter acara jalan-jalan itu.
Ia pun terbang ke Jakarta, memborong buku-buku bacaan
anak-anak dengan duit sendiri. Dalam perkembangannya, ia kemudian
mengajak teman-temannya dari berbagai negara, latar belakang, suku, dan
ras yang memiliki kepedulian yang sama dengannya. Maka, nama “Pelangi”
itu pun tercetus di kepalanya.
“Seperti pelangi. Berbagai warna jika dijadikan satu, membentuk sesuatu yang indah,” ujarnya berfilosofi.
Hingga kini, Taman Bacaan Pelangi telah ada di 26
desa pelosok di 11 pulau di wilayah Indonesia bagian Timur, antara lain:
Flores, Timor, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Maluku (Pulau Banda Neira).
Jumlah koleksi buku yang ada di tiap lokasi pun kian bertambah. Awalnya
hanya 500 buku per lokasi, namun sekarang jumlahnya bahkan ada yang
mencapai 2.000 – 3.000 buku.
Mantan Head of Communications Putera Sampoerna
Foundation ini menjelaskan bahwa dukungan dari masyarakat setempat
terhadap Taman Bacaan Pelangi bagus sekali. Mereka sangat aktif membantu
dalam hal pengelolaan & rotasi buku. Jumlah sukarelawan pun
meningkat. Bahkan, banyak yang kirim surat elektronik menyatakan ingin
gabung sebagai sukarelawan. Orang-orang dan pihak-pihak yang mengajak
kerjasama dan mengirimkan buku atau dukungan dalam wujud apa pun juga
bertambah banyak. Itulah sebabnya, Taman Bacaan Pelangi terdorong
membentuk yayasan yang saat ini sedang menunggu keputusan dari
Departemen Kehakiman.
Meski demikian, perjalanan Taman Bacaan Pelangi bukan tanpa hambatan. Wanit yang saat ini bekerja sebagai Head of Stakeholder Mobillization
di Nike, Inc., Jakarta ini mengakui tantangan adalah jarak antardesa
yang jauh dan harus ditempuh dengan jalan darat yang lama ataupun harus
menyewa kapal menuju ke sana setelah perjalanan melalui udara.
“Tapi kita tidak boleh menyerah dengan tantangan ini,
karena justru desa-desa yang sulit dijangkau itulah yang sangat
membutuhkan akses terhadap buku bacaan yang berkualitas,” imbuhnya
optimis.
Maka, salah satu cara untuk mengatasi tantangan itu
adalah dengan memberdayakan masyarakat setempat. Merekalah yang membantu
untuk merotasi dan menyalurkan donasi lain yang didapatkan, seperti
ribuan sandal dari Havaianas & sepatu sekolah dari Kick Andy
Foundation untuk anak-anak di lokasi Taman Bacaan Pelangi.
Pelibatan masyarakat setempat juga menjadi salah satu
strategi Nila untuk menjaga kesinambungan Taman Bacaan Pelangi. Dengan
kerjasama itu, rasa memiliki (sense of belonging & sense of ownership) masyarakat desa terhadap taman bacaan ini juga akan terus bertumbuh.
Ketika ditanya mengenai kiatnya untuk tetap bertahan
dan terus mengembangkan Taman Bacaan Pelangi, wanita yang hobi menulis
ini menceritakan.
“Saya selalu teringat binar mata anak-anak di Taman
Bacaan Pelangi ketika pertama kali kami membuka TBP di masing-masing
lokasi. Mata mereka berbinar-binar dan raut wajah mereka tampak sangat
antusias dan senang sekali. Terharu melihatnya. Inilah yang membuat saya
tetap semangat.”
Ia pun berharap Taman Bacaan Pelangi terus berkembang
dan merambah daerah-daerah terpencil lainnya di Indonesia bagian Timur.
Sehingga kian banyak anak Indonesia yang mendapatkan akses terhadap
buku dan terinspirasi untuk menjadi ‘besar’. Selain bisa turut
berkontribusi untuk membantu mengurangi angka buta huruf di Indonesia
bagian Timur, Nila menyematkan harapan anak-anak di Taman Bacaan Pelangi
akan menjadi agent of change yang akan dapat membawa perubahan positif di desa-desa mereka.
Tidak mengherankan jika langkah kecil berdampak
positif besar yang dilakukan oleh Nila Tanzil tersebut membuahkan
apresiasi. Penghargaan yang telah ia terima terkait kiprahnya tersebut,
antara lain: Banyan Tree Award (2010), Tupperware SheCan! Award (2011),
Indonesia’s Inspiring Youth and Women Award (Desember 2012), serta
Kartini Next Generation Award: Inspiring Woman in ICT (2013).
Pencapaian Nila Tanzil itu tidak bisa dikatakan
semata-mata karena dirinya seorang. Banyak pihak yang berdiri di
belakangnya, terutama orangtuanya. Terkait dukungan terhadap Taman
Bacaan Pelangi, misalnya, sang ibu, Yuriah Tanzil, selalu membantu
memilah-milah buku, menghitung, lalu mengemasnya ke dalam kardus sebelum
dikirim. Ia juga rela rumahnya jadi berantakan oleh kardus-kardus yang
penuh dengan buku cerita anak-anak.
Sementara bapaknya, Michael Tanzil, telah menanamkan
pesan yang terus disampaikan Nila tiap kali diliput media. “Sebagai
perempuan, lebih baik memiliki berbagai kemampuan daripada memiliki
berbagai barang.” Maka, ia pun terdorong untuk jadi wanita mandiri dan
maju.
Nila sendiri punya moto hidup “Life has to be
balanced”. Hidup harus diseimbangkan. Moto yang bisa diaplikasikan dalam
banyak hal, misalnya: work hard, play hard. Atau ketika kita memiliki sesuatu, kita juga harus memberi kepada orang lain yang membutuhkan. Semuanya harus seimbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar